Jumat, 23 Oktober 2009

Silahkan Pilih : menjadi agen atau korban?

M

emilih merupakan proses penting dalam hidup,karena setiap pilihan putusan yang kita ambil akan menentukan kondisi selanjutnya. Dengan bahasa yang berbeda, ada konsekuensi yang terjadi/mesti dihadapi terhadap putusan yang sudah kita pilih.

Ilustrasi ini mungkin membantu untuk memahami maksud dari pernyataan di atas. Suatu ketika Pono berjalan tergesa-gesa menuju ke kampus, dia akan menghadapi ujian skripsi. Usianya udah di ambang batas-alias terlalu tua untuk tetap berada di kampus sebagai mahasiswa S-1 reguler. Maklum semesternya udah memasuki angka diluar batas normal studi..kalau dulu mungkin diistilahkan mahasiswa abadi. Persiapan untuk skripsi sudah dilakukan dengan maksimal, karena ini kesempatan terkahir dia untuk bisa lolos dari lubang jarum setelah sekian lama berada di kampus dengan kesibukan mengurusi organisasi yang memberinya bekal ilmu dan pengetahuan begitu melimpah,sampai kepintarannya melalmpui kawan-kawan mahasiswa sesuianya yang hanya berkutat di kampus untuk studi..(atau memang sudah tidak ada pembandingnya, karena teman-temannya udah pada lulus..hehehe).

Dalam perjalanan, tiba-tiba dia dikejutkan oleh peristiwa kecelakan dimana dia berada di dekatnya dan korbannya seorang ibu tua. Dia langsung teringat pada ibunya, tersentuhlah hatinya untuk berkeinginan membantu si ibu, yang memang menglami luka parah, dan si penabrak ternyata melarikan iri. Sementara jalanan belum terlalu ramai..dan tidak ada yang bereaksi untuk menolong si ibu..bayangan saya tertuju pada kisah seorang samaria yang menolong orang yang berasal dari suku lain yang merupakan musuh bebuyutan suku samaria..

Tapi dia teringat bahwa dia mesti segera ke kampus untuk mempersiapkan ujian skripsi yang dimulai pada pukul 7 pagi tepat. Apalagi masa studi Pono telah “habis”, dan hari ini merupakan kesempatan terakhir dia untuk dapat dinyatakan sebagai sarjana (itupun mesti lulus ujian tentunya..)

Menolong atau tetap berangkat ke kampus? Saya yakin akan ada banyak jawaban yang muncul ketika disodorkan pada persoalan seperti demikian. Namun dari ilustrasi ini,yang ingin saya sampaikan untuk mengantar pada pemahaman proses memilih dan hasil putusannya yang akan menentukan apa yang terjadi selanjutnya dan langkah yang mesti diambil berikutnya...

Kita sering dihadapkan pada situsasi dan kondisi dilematis yang menuntut pemahamanan dan kesadaran yang utuh atas pilihan putusan yang dibuat. Dan putusan yang kita ambil akan mendapat respon beragam, pro dan kontra..halini sudah biasa terjadi di masyarakat manapun..isoe nyacat thok..begitu istilah jawa-nya.. Nah, yang mesti disadarai pula, bahwa respon dari pihak luar yang muncul juga merupakan konsekuensi dari putusan kita.Artinya,kita pun mesti siap menghadapinya.. Namun saya ingin sampaikan,bahwa bukan sekedar menghadapi respon dengan mengkonter atau menglarifikasi yang mesti dilakukan..

Setiap keputuan yang akan kita ambil mesti dipahami dengan utuh, termasuk bahwa kita hidup pada suatu sistem yang berjalan bukan sebagai kebetulan..ini mesti dipahami. Dan setiap manusia memiliki tujuan dalam hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat (kumpulan individu yang dikendalikan oleh sistem). Sebagai individu dan sebagai bagian masyarakat (atau warga bangsa) mesti sinkron, sinergis, terjadi relationship..meminjam istilah Bapak kita, bahwa di dalam kepentingan umum terdapat kepentingan individu..

Jadi, segera...pahami, petakan..dan siapkan putusannya: menjadi agen atau korban? Atau ada pilihan lain? (sam londho)

Petakan Malang Segera! Mimpi Warga Malang Raya untuk Lingkungan Lestari !

L

uasnya wilayah Malang Raya dengan beragam potensi yang ada, merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kami untuk segera mengambil langkah taktis dan strategis. Namun, persoalan awal yang mesti dituntaskan adalah penciptaan ruang aktualisasi bagi warga masyarakat Malang raya yang memiliki ketertarikan untuk mengenali wilayahnya lebih dalam. Penciptaan ruang “kerja” baru bagi warga Malang Raya didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka yang lebih tahu isi dan seluk beluk wilayahnya. Kami sebagai komunitas pemeta lingkungan hanya menjadi fasilitator dengan tawaran metode pemetaan lingkungan yang komunikatif dan mudah dimengerti oleh para pengguna produk kami, peta (Peta Hijau).

Kami, komunitas Peta Hijau Malang berpikir darimana mesti memulainya. Diskusi panjang selama beberapa kali dengan para pionir komunitas peta hijau akhirnya memutuskan untuk melibatkan kawan seiring dalam kegiatan awal. Tentu, subyek utama dari kegiatan kami yaitu warga masyarakat tetap dipikirkan cara untuk merekrutnya sebagai bagian dari kegiatan yang kami laksanakan. Beragam gagasan dilontarkan mengenai bagaimana cara kami melibatka mereka dalam kegiatan awal kami. Media massa menjadi salah satu pilihan yang kami anggap strategis untuk mempromosikan kegiatan kami.

Selama berjalannya proses ini menuju waktu pelaksanaan kegiatan, kami sebagai penggagas sekaligus penyelenggara kegiatan terus berkoordinasi dengan segala keterbatasan yang ada. Kami berprinsip utnuk melihat keterbatasan sebagai “nilai lebih” yang kami miliki. Keterbatasan bukan hambatan, dan kami tidak ingin menyerah pada keadaan yang ada. Mimpi besar melihat masyarakat semakin sadar dan paham akan kondisi lingkungannya menjadi kekuatan sekaligus semangat bagi kami untuk tidak berhenti.

Akhirnya, kami menunggu partisipasi warga Malang Raya dalam kegiatan yang akan kami laksanakan, Workshop Peta Hijau Malang Raya yang menurut rencana akan dilaksanakan pada tanggal 6 - 8 November 2009 di kawasan Gunung Kawi, Kabupaten Malang. Nuansa spiritual yang terasa di kawasan tersebut kiranya dapat menjadi penggugah jiwa untuk menyatu dengan alam sebagai karunia yang mesti kita jaga, rawat dan pelihara agar selalu lestari.

Salam Peta Hijau! (sam londho)

Selasa, 13 Oktober 2009

Catatan Perjalanan Survey Menemukan Ruang Baru menuju Pemahaman Ekospiritual

Judulnya terkesan mengada-ada..namun, tidak bagi kami (atau saya)..Aku berpikir maka aku ada (cogito ergosum). Dalam proses melanjutkan tugas mencari lokasi kegiatan untuk pelaksanaan workshop, kami ber-delapan – para volunteer green map malang menetapkan lokasi sasaran adalah Kecamatan Wagir. Pukul tujuh kami standby di depan sekretariat BEM FP-UB. Sekitar jam 8 pagi kami berangkat menuju lokasi yang berjarak kurang lebih 40 km dari pusat Kota Malang (Jarak antara sekretariat BEM FP-UB dengan pusat kota Malang sekitar 6 km). Bisa dihitung jarak totalnya, kan?:)

Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai ke lokasi yang menjadi tujuan. Jalan yang berkelok-kelok dan melintasi hutan dan kawasan pertanian tumpang sari menjadi pemandangan di sekitar kawasan yang menjadi first destination. Namanya Desa Precet, udaranya cukup bersih, karena jauh dari perkotaan yang berarti pula relatif terhindar dari polusi kendaraan bermotor seperti yang terjadi di wilayah kota. Terdapat industri susu, yang lokasinya termasuk dalam wilayah Kec. Ngajum. Menurut penuturan warga setempat, terdapat sekitar 3.000 ekor sapi yang dipelihara oleh industri tersebut untuk menghasilkan susu yang kemudian dikemas menjadi produk susu dalam kemasan. Kami sempat melihat area untuk membuang limbah. Muncul pertanyaan dari masing-masing rekan mengenai keberadaan limbah industri. Namun, kami hanya sebatas berimajinasi dengan jawaban, karena kami tidak memahami benar apa, siapa, mengapa dan bagaimana..

Perut yang kosong membuat kami sulit untuk berpikir, seperti pepatah ..logika tanpa logistik gak bisa jalan...hehehe. Segera kami menuju warung untuk sarapan pagi, nasi dan lauk pauk tahu, tempe serta telur menjadi santapan kami. Tak lupa sambal sebagai teman setia-nya. Segelas teh atau kopi menjadi minuman pelepas dahaga. Setelah makan, kami pergi menuju lokasi berikutnya (tentu kewajiban membayar sudah kami tunaikan), yaitu kraton. Kami sebenarnya tidak mengetahui dimana lokasinya dan seperti apa bentuk bangunan yang disebut kraton. Kembali hutan dan jalan berliku menjadi kawan seiring dalam perjalanan. Hanya papan petunjuk yang menjadi panduan menuju lokasi kraton. Dari Desa Precet menuju kraton tertulis 3 km. Namun sepertinya lebih. Kamipun berkesimpulan bahwa 3 km tidak lagi ukuran yang mutlak dan pasti. 3 km menjadi nilai relatif , tergantung siapa yang mengukurnya (mungkin kepentingannya pun berbeda).

Sampailah kami di lokasi yang disebut Kraton, yaitu bangunan berderet ke atas yang merupakan tempat peribadatan dan meditasi. Kami menyebutnya, lokasi spritual sekaligus potensi wisata spiritual. Kami bertemu dengan petugas dari Perhutani dan penjaga kawasan spiritual Kraton. Kami menemukan banyak hal baru sekaligus pertanyaan-pertanyaan atas ketidaktahuan mengenai lokasi, sejarah, dan aspek lain yang terkait. Kami endapkan sejenak pertanyaan, karena mesti fokus pada tujuan awal, survey lokasi untuk kegiatan yang akan kami adakan. Kami terlibat percakapan panjang dengan petugas Perhutani, pengelola kawasan Kraton dan penjaga salah satu tempat peribadatan, yang telah lebih dari 40 tahun menjaga keberadaan lokasi. Hingga kamipun menaruh perhatian sekaligus apreciate dengan keberadaan kraton di wilayah tersebut. Mereka pun menaruh simpati terhadap kegiatan yang akan kami adakan, dan siap untuk membantu. Hal ini membuat kami bersemangat untuk mempertimbangkan lokasi Kraton sebagai tempat pelaksanaan kegiatan.

Kami mengakhiri pembicaraan dengan berpamitan untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu Gunung Kawi. Sekaligus kami hendak mendatangi rumah kepala desa untuk menanyakan perihal ijin kegiatan bilamana kami akan melaksanakan kegiatan disana. Jalanan yang menurun menuju kawasan permukiman yang berada di wilayah Kecamatan Ngajum menuntut kewaspadaan kami dalam berkendara. Sesamapai di pangkalan ojek kami menanyakan lokasi rumah Pak Kades yang ternyata sedang menikmati pertandingan bola di Stadion Kanjuruhan antara Arema melawan Persija. Ya...Arema benar-benar menjadi perhatian menarik bagi warga Malang raya, begitu antusias warga malang mendukung kesebelasan yang memang menjadi salah satu ikon kebanggaan arek malang. Meski tidak bertemu, kami sempat meninggalkan nomor kontak agar dapat dihubungi oleh Pak Kepala Desa dengan perantara slaah satu kerabat Pak Kades yang kebetulan berada di pangkalan ojek.

Kami melanjutkan perjalan menuju kawasan pesarean Gunung Kawi yang cukup dikenal oleh masyarakat luas. Konon, pengunjung kasawan tersebut berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri, seperti : Cina, Taiwan, dan Singapura. Ada daya tarik spiritual dari kawasan ini. Masyarakat umum cenderung mengenal dengan predikat yang bagi saya menyimplikasi, tempat mencari pesugihan. Kami tidak ingin larut dalam perdebatan mengenai keberadaan kawasan pesarean Gunung Kawi. Kami berusaha memanadang dan memaknai keberagaman sebagai karunia yang dimiliki oleh negeri tercinta ini.

Kamipun berjalan-jalan melintasi kawasan pesarean Gunung Kawi, hingga sampai di tempat utama yang merupakan tempat peristirahatan Eyang Panembahan Djoego dan Eyang Raden Mas Iman Soedjono. Disinilah umumnya para pengunjung memulai aktifitas spiritualnya, dengan beragam keyakinan dan kepentingannya. Kamipun sempat merasakan aktifitas spiritual, dengan memasuki ruang persembahyangan. Sejenak kami hening dan setelah mengakhirinya, kami sempat berbincang dengan pemandu setempat yang menjelaskan secara filosofis keberadaan lokasi pesarean Gunung Kawi. Kamipun cukup mendapat wawasan pengetahuan mengenai hal ihwal lokasi. Kami semakin yakin, Malang memiliki potensi yang patut dikenalkan ke dunia luas sekaligus perlunya upaya melestarikan dengan menjaga dan merawatnya. Tak terasa waktu sudah pukul 3 sore. Kami sedang berusaha untuk mengejar untuk dapat menyaksikan pertandingan Arema melawan Persija dalam laga perdana Indonesian Super League. Namun sepertinya kami tidak yakin, karena dua hal: pertama, pertandingan berlangsung pukul 3.30 sore, sementara perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Kami masih harus berusaha memeperoleh tiket pertandingan, Sesuatu yang cukup sulit bagi kami mengingat pengalaman menunjukkan laga perdana sangat diminati oleh pecinta bola di Malang raya, sehingga tiket pertandingan akan mudah habis terjual. Kedua, Dalam perjalanan menuju stadion Kanjuruhan, kami melihat banyak para calon penonton -kami mengenalinya lewat atribut ala suporter yang dikenakannya- menuju arah kembali/pulang. Setelah kami memastikan bahwa tiket telah habis terjual maka kami memutuskan untuk kembali ke kampus. Kami mengakhiri perjalanan dengan makan sore sambil menyaksikan sisa pertandingan Arema melawan Persija, yang ternyata berbuah manis dengan kemenangan tuan rumah, AREMA. Salam satu Jiwa! (sam londho)

Tim Survey : sam Dono, sam Edo, sam Rifky, sam Londho, sam Napis, sam Adi, sam Angga, dan mbak Saras

Senin, 05 Oktober 2009

KUCING MENJADI ANJING

Ada satu kisah unik yang saya peroleh dari komik Jepang, seorang tokoh dalam komik tersebut bernama Bakabon. Dalam salah satu kisahnya (dalam satu seri komik terdapat beberapa kisah), Bakabon menemui tetangganya, Pak Inugai yang sedang mengamati kucing yang berada di halaman rumahnya. Bakabon mengira kucing itu adalah peliharaan Pak Inugai. Namun, ternyata kucing itu bukan milik Pak Inugai, dan dia mengatakan lebih suka memelihara anjing daripada Kucing. Timbullah gagasan dari Bakabon untuk memperlakukan kucing tersebut seperti anjing. Ide ini direspon positif oleh pak Inugai. Terjadilah perintah-perintah konyol Bakabin dan Pak Inugai terhadap kucing. Hingga si kucing pun mengalami kebingungan akibat perlakukan kedua orang tersebut yang menganggapnya seekor anjing. Perlakuan Bakabon dan Pak Inugai secara terus menerus terhadap kucing yang diperlakukan menjadi anjing menghasilkan suara kucing yang tidak lagi “meong” melainkan “meguk”, sebuah ungkapan perpaduan antara suara kucing “meong” dan anjing “ guk guk..”

Kisah di atas boleh jadi mencoba memberi gambaran sekaligus kritik dari komik tersebut, atas perilaku manusia terhadap mahluk lain, bahkan terhadap sesama manusia. Ketika manusia mempunyai kuasa atas alam, maka akan ada beberapa pilihan tindakan yang bisa dilakukan sejalan dengan kewenangan yang dimilikinya. Kisah Bakabon dan Pak Inugai memperlakukan kucing alayaknya seekor anjing,yang digambarkan dengan gaya humor ala komik, mengingatkan kita manusia atas bagaimana seharusnya memperlakukan “umat” lain yang berbeda. Kerapkali kita –karena punya kuasa-memperlakukan mahluk hidup (termasuk manusia) secara semena-mena. Kita seolah lupa, bahwa mereka yang kita perlakukan semena-mena juga bagian dari kita. Bagian dari sebuah sistem kehidupan, yang sepatutnya diperlakukan sama tanpa membeda-bedakan, apalagi memperlakukannya seperti mainan.

Menilik sedkit lebih dalam, banyak kejadian di negeri ini dimana para penguasa/elite politik maupun ekonomi, memperlakukan ”konstituen” maupun para pekerja sesuai dengan kehendaknya sendiri. Mereka cenderung dikuasai oleh hasrat pemenuhan kebutuhan diri sendiri atau kepentingan golongannya. Sebagai pihak yang diperlakukan sekehendaknya oleh para penguasa, ”konstituen” maupun para pekerja hanya dapat menerima perlakuan tersebut sebagai proses yang mesti dijalani untuk menuju ”kehidup-an yang lebih baik”. Saya sengaja tidak membahas lebih jauh persoalan ini dari sudut pandang knstituen maupun para pekerja. Saya beranggapan,tulisan ini dalam rangka bersuara untuk mereka. Atau lebih tepatnya, saya berharap adanya keseimbangan dalam setiap bagain kehidupan yang berlangsung. Tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi (menjadi subordinat). Hidup dan kehidupan ini akan menjadi lebih baik ketika semua berlangsung seimbang..Itulah pesan yang saya dapat dari bagian akhir cerita Bakabon dan Pak Inugai dalam kucing menjadi anjing...[fas]

Melihat, Mempertimbangkan, dan Belum Memutuskan... Catatan Perjalanan Survey Pendahuluan

Kami berempat tidak tahu dimana mesti langkah ini berhenti. Perjalanan selama kurang lebih 30 menit dari kampus Unibraw sampai Desa Klampok, Singosari tidak terasa melelahkan. Karena bagi kami, sebelum mendapat kepastian lokasi yang akan dijadikan pusat kegiatan pelatihan, berarti tugas pertama kami belum selesai.

Sesampai kami di depan balai desa Klampok, segera kami mulai berdiskusi sambil menghisap rokok (harap maklum, kebiasaan ini belum bisa hilang tapi niat untuk berhenti selalu ada). Diskusi ala kadarnya di depan balai desa diawali dengan mendengar pendapat masing-masing mengenai keadaan umum Desa Klampok berdasarkan pengamatan singkat kami. Beragam pertimbangan sebelum memutuskan apakah lokasi ini layak dijadikan tempat pelatihan muncul dari kami. Kami berempat berkesimpulan sementara bahwa tidak ada yang istimewa, terkait dengan potensi alam, kehidupan berkelanjutan dan sosial budaya-sebagaimana komunitas kami menancapkan visi.

Salah seorang kawan menyarankan untuk melihat Desa Gunungrejo yang bersebelahan dengan desa Klampok. Tanpa banyak pertimbangan, kami kembali ke posisi duduk kami di atas jok sepeda motor untuk segera meluncur ke lokasi yang disarankan, Desa Gunungrejo. Tidak butuh waktu terlalu lama dari Desa Klampok untuk sampai ke Desa Gunungrejo. Jalan aspal yang banyak mengalami kerusakan, penuh lubang (sepertinya kondisi yang biasa terjadi dimanapun di Indonesia) dan menanjak menjadi bagian dari perjalanan kami. Kami menghentikan laju sepeda motor di depan Balai Desa Gunungrejo. Bagi kami, balai desa merupakan titik yang tepat untuk berhenti. Kami berharap keberuntungan dapat bertemu dengan kepala desa sehingga dengan mudah kami akan menyampaikan niat kami dan tentunya menjelaskan siapa kami.

Namun kami segera menyadari, tidak mungkin bertemu pak kades di kantor desa, mengingat waktu telah menunjukkan jam diluar kerja para aparat desa. Sekedar infomasi pandangan mata, kantor Desa Gunungrejo dalam proses pembangunan, kondisi bangunannya tersusun hampir 100%, hanya ruang pertemuan saja yang masih berupa tiang penyangga/pilar berjumlah empat buah. Bentuk bangunan kantor desa menyerupai rumah modern bergaya minimalis yang lagi jadi “trend” bangunan rumah saat ini. Areanya cukup luas, sekitar seperempat hektar. Di belakang kantor desa telah ditanami beberapa tanaman penyejuk. Masih tersisa lahan kosong, yang cukup untuk tempat berkumpul dan membuat acara api unggun. Kondisi yang mengingatkan saya saat SD ketika mengikuti kegiatan Persami (Perkemahan Sabtu Minggu) dengan seragam Pramuka. Segera kami bersatu suara untuk memutuskan bahwa Desa Gunungrejo merupakan lokasi yang pas untuk kegiatan kami.

Lega rasanya, ketika keputusan sementara berhasil kami buat. Namun, kami merasa belum puas dengan dua lokasi. Masih ada satu desa lagi yang perlu untuk didatangi, Desa Toyomarto. Butuh waktu sekitar 10 menit dengan mengendarai sepeda motor untuk sampai di lokasi survey yang ketiga. Kami menghentikan laju kendaraan di kawasan parkir yang diperuntukkan bagi pengunjung Candi Sumberawan. Kembali kami mendiskusikan kelayakan tempat. Dengan berbekal data dan informasi dari kawan yang pernah melakukan kuliah kerja praktek di desa tersebut, maka memutuskan untuk tidak menggunakan Desa Toyomarto sebagai lokasi kegiatan dengan berbagai pertimbangan.

Namun kami tidak segera memutuskan lokasi mana yang akan dijadikan pusat kegiatan pelatihan dari komunitas kami. Perut yang lapar rupanya cukup mengganggu “kecerdasan” sekaligus keliaran gagasan dari kawan-kawan. Keputusan yang dibuat adalah mencari tempat makan, dan bakso adalah pilihannya. Saya mengingat ada satu warung bakso di depan Candi Singosari yang sepertinya enak. Indikatornya, warung tersebut ramai dikunjungi. Segera kami meluncur, namun sayang warung tidak buka. Akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada warung mie ayam yang berada di depan kantor Polsek Singosari. Sambil menunggu mie ayam siap disajikan, kami mendiskusikan kembali perihal lokasi kegiatan. Muncul beberapa usulan alternatif tempat, yang memang dipahami oleh kawan-kawan karena pernah beraktifitas disana. Tak lupa kami mempertimbangkan rencana untuk mengadakan kegiatan pelatihannya di dalam kampus.Akhirnya kami memutukan untuk kembali melakukan survey di beberapa alternatif tempat yang telah disepakati. Setelah setelah menyantap semangkok mie ayam (tentu juga kewajiban membayarnya) dan beberapa biji pisang molen berukuran jumbo sebagai hidangan penutup, kami kembali ke “kandang”. (Sam Londho).

Catatan:

Survey pendahuluan dilaksanakan pada hari rabu, 30 September 2009.

Tim survey : Sam Dono, Sam Navis, Sam Edo dan Sam Londho